TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akan berdiskusi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Tangerang guna mencari jalan keluar persoalan bajaj. Sebelumnya, ia menerima keluhan dari para sopir bajaj mengenai sulitnya mencari tempat mangkal di ibu kota. Akibatnya, mereka kesusahan mendapatkan penumpang.
Baca: Cerita Budi Karya Sumadi Dongkol Karena Dikritik
Baca Juga:
"Tadi ada yang bercerita bahwa di jalan raya tidak ada tempat yang memadai untuk mereka mangkal oleh karenanya nanti kita bisa bicara dengan Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Tangerang bagaimana solusi untuk mereka agar lebih mudah untuk mencari penumpang,” ujar Budi Karya dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Tempo, Ahad, 17 Februari 2019.
Sebelumnya, Budi Karya menggelar dialog dengan Paguyuban Pengemudi Bajaj di daerah Kemandoran, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 16 Februari 2019. Dari diskusi itu, salah satu kesimpulan yang ia ambil adalah perlunya pengertian bahwa moda angkutan sejatinya berjenjang, mulai dari angkutan massal ke angkutan lain yang bersifat pengumpan, seperti bajaj.
Bahkan, Budi mengatakan bajaj merupakan salah satu angkutan feeder yang diperlukan. Alasannya, bajaj dapat masuk ke daerah-daerah yang jalanannya kecil dan sempit. “Bajaj adalah satu angkutan feeder yang memang diperlukan masyarakat karena bajaj bisa masuk sampai ke daerah-daerah yang jalannya kecil, untuk itu saya menyempatkan bertemu komunitas bajaj ini untuk menampung aspirasi mereka, sehingga bisa dilakukan suatu improvement,” ucap Budi.
Sebelumnya, Pemerintah pusat, melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek atau BPTJ, menagih janji pemerintah DKI Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya agar menyesuaikan aturan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing dengan rencana induk transportasi Jabodetabek (RITJ).
Jika keduanya sudah selaras, akan memperlancar pembangunan infrastruktur transportasi terintegrasi kawasan tersebut. Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan, Bambang Prihartono, pun memberi panduan kepada daerah-daerah yang tengah merevisi aturan RTRW. “Tinggal ikuti RITJ saja karena itu telah melalui kajian,” katanya kepada Tempo, Kamis lalu.
Menurut dia, keselarasan RITJ dengan RTRW juga akan mendorong masyarakat beralih menggunakan angkutan umum. Tanpa keselarasan itu bisa saja pemerintah daerah penyangga Ibu Kota membuat kawasan permukiman tanpa dilewati jalur transportasi massal. “Kan, kasihan masyarakat.”
Bambang pun menunjukkan contoh ketidakselarasan RTRW DKI Jakarta dengan kota penyangga, yakni dalam pembangunan koridor 13 bus Transjakarta. Koridor tersebut menghubungkan kawasan Jalan P. Tendean di Jakarta Selatan dengan Ciledug, Kota Tangerang.
Jalur layang bus itu berakhir di Petukangan, Jakarta Selatan, yang notabene merupakan perbatasan DKI dengan Ciledug karena tak ada kesesuaian perencanaan dengan Kota Tangerang.
Seharusnya, Bambang melanjutkan, jalur bus Transjakarta itu melayang dari kawasan Jakarta Selatan hingga Terminal Poris, Kota Tangerang. Namun, DKI hanya berwenang membangun jalur layang itu di wilayahnya. “Kalau diperpanjang sampai Poris penumpangnya tak hanya di perbatasan.”
Bambang menjelaskan soal kesesuaian perencanaan tersebut termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2018-2029 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Juli 2018.
Rencana induk itu pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, pengembangan, pengelolaan, pengawasan, dan evaluasi transportasi di wilayah perkotaan Jabodetabek.
Baca: Menhub Budi Karya Targetkan Aturan Ojek Online Rampung Februari
Pada saat penyusunan RITJ 2018-2019, Gubernur DKI dan sejumlah kepala daerah kota penyangga telah sepakat mengikuti aturan itu. “Jadi jangan jalan masing-masing,” ujar Bambang.
GANGSAR PARIKESIT